Kamis, 10 Desember 2009

Sarapan Pagi



Baru kali ini teringat ada yang harus saya tuliskan. Mudah-mudahan tidak membosankan untuk dibaca.

Hari ini perkuliahan yang sudah dijalani selama tiga semester di Kelas Pasca Sistem Informasi ITB 2008 berakhir. Sesi foto-foto plus kostum batik menjadi cerita yang banyak membuat tertawa (Seperti habis Pulang kondangan, plus Souvenir dari salah satu teman yang baru saja menikah) mendukung sekali tampilan kami saat itu. Walau pasti dengan perasaan 'hmmm, kapan lagi kami merasakan tertawa bersama, kesulitan bersama, sedih bersama, bahkan terkantuk-kantuk bersama di kelas'.

Ada satu kebiasaan (tapi untungnya bukan ritual, hehehe). Setiap perkuliah pagi hari Jam 07.00 WIB. Kami masuk terengah-engah dan berpeluh (KULIAH PAGI = LARI PAGI, mudah-mudahan tidak salah buat persamaannya), mengejar kedisiplinan yang diterapkan takut terlambat karena TERLAMBAT = TIDAK KULIAH (walaupun banyak yang nakal berstrategi hehe...., jangan disebut disini ah nanti banyak pengikutnya.
Lepas perkuliahan pagi, tujuh per delapan isi kelas akan memenuhi bangku-bangku bundar kantin GKU ITB.

Menu favorit adalah siomay GKU. (hmmm Yummy, cocok lah untuk kantong mahasiswa). Ditemani minum yang beragam dari air mineral, teh botol, teh tawar panas dan teh manis panas (perlu disebutkan panas karena untuk minumnya perlu perjuangan menungggu). Khusus untuk saya pasti teh manis panas.

satu porsi siomay cukup bertahan untuk memenuhi SARAPAN PAGI di jam 09.00 (atau Brunch ya.. sebenarnya entahlah) sampai waktu makan siang.

Satu persatu kenangan menjadi penghuni di Kampus ITB Jl GANESHA 10 akan saya tuliskan.... (suatu saat bersambung dengan cerita lain.)

Selasa, 27 Oktober 2009

Inspirasiku

Bandung, 27 Oktober 2009

Seharusnya aku menuliskan cerita ini sejak lama, namun selalu saja jemariku kaku untuk memulai. Aku mulai merasa harus kembali menulis setelah teman chat ku menagih kelanjutan cerita ini. (hehe…Pembelaan atas kemalasanku).

Sang Vilolist yang pernah aku ceritakan di kisah sebelumnya ternyata seorang anak yang penuh kata berterimakasih, santun dan pemalu.
Sore itu kulangkahkan kaki menuju jalan raya, hari jumat yang mengharuskan aku meninggalkan Bandung dan kembali ke Purwakarta untuk memenuhi kewajiban ku membagi ilmu. Hari itu Ramadhan periode 10 hari terakhir. Nampak kulihat 2 sosok mungil tergolek menunggu lampu merah menampakan senyumnya. Bagi 2 sosok itu lampu merah selalu menjadi harapan melanjutkan hidup.
Kuhampiri keduanya.

“Hai..!, Hari ini puasa ga??” Sapaku.
“InsyaAllah, Teh!” sang Violist menjawab.
“Abi oge puasa, Teh!!” Sang pumukul Tifa menghampiri dengan riangnya.
“Owh…, bagus!! “ Kata ku.

“Namina saha?” kataku menggunakan Bahasa Sunda saat menanyakan namanya, sengaja kugunakan bahasa ibu untuk mempermudah komunikasi dengan mereka saat aku yakin merekapun berbahasa sunda.
“Harry..!!” Sang Violist menunduk malu ketika menyebutkan namanya. Sang pemukul Tifa menyambar menyebutkan namanya namun selalu aku samar mengingat namanya entah Faris, Aris atau siapa. (ini akan menjadi PR buat ku ketika aku berkesempatan bertemu lagi). Yang ternyata adalah adik dari sang Violist. Nampaknya Harry seorang pemalu sedangkan Faris atau Aris sang adik memiliki kepribadian yang lebih ceria.
Saat aku berkenalan Nampak sesosok dewasa menghampiri kami membawa gitar kecil, aku segera mundur khawatir akan sesuatu hal. Entah siapa sosok dewasa tersebut. Dan ketika itu pula Angkot Sadang – Serang menghampiriku. Aku pun pamit kepada mereka sambil tak lupa aku mengucapkan salam.

Aku selalu terpesona oleh sosok Harry sang Violist, kekagumanku akan kemampuannya dan ternyata atas sikapnya membuatku selalu ingin menumpahkan cerita apapun yang aku alami dengan Sang Violist. Saat pertemuan singkat itu ingin rasanya berbagi dengan mereka tapi ………………. (entahlah)
Selang waktu berganti, beberapa hari telah kulewati. Setiap sore aku selalu mencari sesosok mungil sang violist. Hingga suatu hari ketika aku menuju ke warung Nasi Bakar belakang Gedung Sate. Tampak Harry sang violist sedang menunggu lampu merah. Ku hampiri sambil menyerahkan Ta’jil ala kadarnya.
“Terimakasih, Teh !” Sungkan dia menjawab. Tak lama datang Faris atau Aris, si pemukul Tifa menghampiri. Tak pernah kulupakan raut wajah Harry saat menunduk malu yang kontradiktif dengan wajah kegirangan Faris atau Aris.

Libur puasa dan lebaran harus membuatku lama meninggalkan Bandung. Rutinas di Kota kelahirannku Purwakarta yang selalu penuh warna Suka, Duka, Gembira, Ceria dalam kehidupan sosial dengan keluargaku melumpuhkan semua kebiasaanku di Kota Bandung saat aku harus terus belajar meraih keinginan dan menghapus sedikit dahagaku akan ilmu yang tak berujung.

Mama tercinta sumber kekuatan hidup yang saat ini kujalani karena kekuatan Do’a dan harapannya. Hangat penuh cinta dalam teguran untuk membuatku memperbaiki diri. Sungguh tak habis aku berfikir betapa luas pencapaian ilmu yang Mama berikan untuk ku dan saudara-saudaraku. Kutembus Batas nalarku ketika Mama berkorban dalam perih dan getirnya hidup yang harus dijalani. Keluasan hatinya memberiku peluang untuk belajar dan mendorong pencapaian terbaik dengan kekuatanku.

Tak bisa lagi aku menuliskan kalimat yang lebih baik dari ini untuk menguraikan Cintaku, sayangku dan Hormatku untuk Mama dan perjuangannya dalam kesendirian setelah Bapa lebih dahulu memenuhi panggilan ALLAH SWT.
Seluruh kalimat yang ingin kutuliskan selalu tercekat di tenggorokanku…..
Sesaat air hangat meluncur dari mataku….

Kala aku harus mengingat Mama, bukan karena aku cengeng. Tapi aku menjadi buntu untuk menuliskannya. Bukan karena aku tidak mau, bukan karena aku tak bisa mendalami kata-kata gambaran cinta dan sayang tapi karena terlalu banyak yang ingin aku katakan.

Suatu saat aku akan menuliskan lebih banyak untuk semua Cinta dan sayang Mama, karena aku ingin selalu menjadi Cinta sejatimu, karena aku ingin selalu menjadi kebanggaanmu, karena aku ingin selalu menjadi terbaik bagimu, karena aku selalu ingin menjadi bagian hidupmu dengan segala kekurangan dan kelebihanku. Terimakasih ku untuk Mama.

Aktivitasku di Kota Purwakarta adalah aktivitas sosial yang selalu aku nikmati dengan limpahan kasih saying dari saudaraku. Candaan dalam pelukan saying selalu mengikuti hari-hariku. Walau sesekali rasa perih menyelinap dalam ketidakberdayaanku menghadapi beberapa persoalan hidup tapi tentu saja tak akan membuatku berhenti menjalani hidup karena diluar lingkaran hidup socialku selalu ada sang maha penolong, sang maha Kasih sayang.

Kembali ke kota Bandung, dengan aktivitas rutin seorang penuntut ilmu. Mengejar perkuliahan jam 7 Pagi, melangkahkan kaki setengah berlari dalam harapan . Sungguh menjadi kehidupan yang kunikmati hal ini kujalani benar-benar karena kekuatan yang diberikan ALLAH SWT dan kekuatan Mama.

Hitungan satu minggu setelah liburan , aku bersama teman baik seperjuangan menuntut ilmu harus berjuang mengalahkan rasa malas menuju perpustakaan. Jam 11 siang aku harus kembali dengan buku-buku yang harus kubaca.

Bandung Panas kala itu, kami mampir ke jajaran Café di Jalan Gelap Nyawang. Temanku memesan 1 porsi menu Ayam dengan bumbu softdrink Amerika. Tiba-tiba aku mendengar lagu yang diperdengarkan oleh pengamen cilik di sudut sana. Gesekan biolanya tak mungkin aku lupakan Harry sang Violis dan Faris atau Aris si peumkul tifa sang adik benar-benar tengah beraksi.

Ketika dihadapanku Harry menunduk malu mengalunkan “KITARO” yang menakjubkan. Teman baikku seorang yang sangat apresiatif terhadap seni karena latar belakang seni panggung dan teater yang menjadi bagian dari jiwanya. Terkesima oleh keahlian Harry.
Harry ternyata masih eksis di Jalan Taman sari, Jalan Gelap Nyawang, Jalan Sulanjana dan sekitarnya. Ketika Sekolah libur, Harry tidak lantas bermanja-manja dalam kegembiraan. Tapi Harry bekerja keras dalam kesukaan dan kesedihannya.
Banyak hal yang bisa aku jadikan pembelajaran dari banyak cinta Mama yagn begitu luas dan sedikit dari Harry sang Violist sehingga benar-benar membuat hidup ku harus selalu bergerak maju kea rah yang lebih baik.

Sedikit aku kutip sebuah doa dari teman
Untuk sebuah hati yang tak pernah letih dari do’a. Untuk sebuah jiwa yang tak pernah lepas dari sujud-Nya. Kumohon hanya pada-Mu ya ALLAH, Lindungi, sayangi bimbing dan cintai saudara-saudaraku. Amin

Terimakasih ku untuk semua yang telah memberikan warna dalam hidupku.

Kamis, 17 September 2009

Kumpulan Kisah dalam Goresan

Virtual Reality


Kumenunggu
Tak kunjung datang

Kumenanti
Tak Jua mendekati

Kumencari
Tak satupun kutemui

Kureka malam
Bertemu..................

Kusapa pagi
Berbicara

Kurangkai hari
Bercanda bersama

Memory bergerak tersebar rapi dalam balutan tubuh kuasa-Nya
Dihatiku tertinggal satu ruang kosong yang selalu kucari dalam
Virtual reality

Purwakarta, 04 April 03
11.05 Wib

Senin, 31 Agustus 2009

Kisah Roti Bakar Pisang Keju, STMJ, Sang Penyair dan Violist

Malam ini selepas pukul 20.00 WIB. Keinginan mencari kudapan pengisi perut dimalam hari tak bisa ku bendung lagi. Kuraih Jaket ku yang selalu tergantung, mungkin untuk sebagian orang Bandung sudah tak sejuk lagi, Bandung sudah begitu panas sesak oleh padatnya penduduk dan gedung yang tinggi. Tapi buatku sedikitpun tak sanggup menembus malam hawa Bandung tanpa baju hangat menempel ditubuhku.


Kulangkahkan kakiku dari tempat kos menuju sebuah café Roti bakar kaki lima sebuah simpangan Jalan di Bandung. Penuh sesak pengunjung rata-rata anak muda yang mungkin sebagian besar Mahasiswa. Kupikir mereka bertujuan sama denganku.


Ketika aku duduk menunggu pesananku datang satu porsi Roti Susu Pisang Keju dan STMJ. Tiba-tiba mengalun sebuah nada pentatonis dari tiupan suling recorder merek YAMAHA. Kutolehkan wajahku mencari datangnya suara. Seorang lelaki berperawakan sedang, rambut gondrong dan bertopi sama sekali tak dapat kulihat raut mukanya.



Sejenak alunan nada berhenti dan mengalirlah Monolog yang tak kusimak jelas susunan kalimatnya. Kuperhatikan gerak tubuh sang penyair. Condong kedepan mengajak pendengar untuk larut kedalam syair nya. Tubuhnya bergerak menuju meja ke meja pengunjung sambil tak melepaskan seruling dari genggamannya yang sesekali dia tiup untuk mengalunkan nada-nada pentatonis. Meledak-ledak dan begitu bersemangat sang penyair dengan monolog nya. Sebagian pengunjung bergerak mengikuti kalimat demi kalimat sang penyair tak ubahnya seorang murid mendengar wejangan pa guru.

Pesananku datang………!!!!!


Kuterima 2 buah kantong plastik isi satu porsi Roti Susu Pisang Keju dan STMJ. Tatapan mataku tak lepas mengamati gerakan sang penyair dengan monolognya.


Aku harus beranjak dari Café tersebut. Entah apa yang berikutnya terjadi dengan sang Penyair adakah sang penyair meminta belas kasih pengunjung memasukkan uang logam atau lembaran Kapitan Patimura atau bahkan lembaran Tuanku Imam Bonjol kedalam pundinya atau sang Penyair Monolog hanya sekedar berkunjung untuk menunjukkan kemampuannya?? ENTAHLAH…. ???



Aku melangkahkan kaki menuju halaman café untuk menunggu angkutan umum menuju kembali ke tempat kos ku.



Namun mataku tertuju pada 2 sosok mungil pemegang biola dan Tifa (kurasa). Sang bocah ‘Violist’ sesosok tubuh gempal bersih kelas 5 SD yang memilki kemampuan memainkan biolanya sehingga harus kuacungi jempol. Mungkin juga karena aku tak sanggup memainkan satupun alat musik atau karena pendengaranku yang selalu mengagumi alunan suara alat music gesek ini sehingga apresiasiku terhadapnya selalu nampak lebih.



Bocah mungil ini akan beredar selepas sekolah dan bermain-main (aku pernah melihatnya bermain sepeda dilapangan bola) di sore hari hingga malam. Miris hati melihat kemampuannya yang kontradiktif dengan nasibnya mengapa dia harus berjalan menyusuri ruas jalan di sudut-sudut Bandung untuk mengais rejeki. Atau duduk di simpang Lampu merah ditemani sang pendamping kecil pemukul Tifa. Kucari sosok dewasa yang biasanya mendampingi mereka yaitu bunda ‘sang manajer’ yang akan memerintahkan mereka ‘konser’.
Entah jam berapa dua bocah ini akan memainkan biola dan Tifa nya, Entah jam berapa mereka pulang ke rumahnya hingga sebelum shubuh nanti mereka harus dibangunkan Sahur?? Shaumkah mereka ?? adakah makanan untuk mereka makan ???
ENTAHLAH ??



Aku pulang menuju tempat kos….



Berkecamuk dalam hati ini dengan berbagai sensasi rasa senang karena mala mini perutku tak akan konser karena kurang asupan, karena senang kudapan yang kuinginkan sudah aku dapatkan, atau karena pertanyaan-pertanyaan yang berujung dengan ENTAHLAH ??? sehingga harus kutuliskan walau entah adkah yang mau membaca kisah ini walau sekedar judulnya.


Kuseruput STMJ ku…, Kukunyah Roti bakar ku….


Aku bergerak pasti kearah teman pelipur lara dikala sendiri di kamar kos, teman perjuanganku menuntut ilmu. Kutuliskan semua kisah ini. Banyak pelajaran yang aku petik. Dalam satu satuan waktu yang penuh hikmah ini.


Aku sedang merasa tumpul menuliskan susunan kata, aku sedang merasa lalai dengan tugas-tugasku, aku sedang merasa sendirian, aku sedang merasa ingin dikasihani. Tak bersyukur dengan apa yang aku milki. Aku masih bisa makan Roti bakar dan STMJ, aku masih bisa bernafas dengan nikmat-Mu, aku masih bisa tersenyum karena cinta-Mu.


Menunduklah aku Malu karena tak punya mau,… Menangislah aku dalam hati karena tak mensyukri nikmat-MU, Menyesal aku karena lalai atas perintah-Mu
Maafkan aku yang ALLAH.



Terimakasih telah Engkau berikan aku talenta, telah Engkau berikan aku nikmat-Mu, telah Engkau berikau cinta-Mu, telah engkau berikan aku Rijki-Mu, telah Engkau berikan pelajaran-MU, telah Engkau berikan Ilmu-MU


Tak sanggup aku tuliskan semua keagungan-MU



Terimakasih Ya RABB…..


Bandung, 31 Agustus 2009, Pukul 21.31 WIB